AddThis

Share |

Jumat, 16 April 2010

Kata jawa


Ada yang unik dalam kata
“Jawa” ini. Kata ini umumnya
dikenal sebagai nama pulau,
tetapi anehnya bila kata itu
dihubungkan dengan kata “tidak” dan menjadi “tidak jawa”, atau “ora Jawa” dalam bahasa Jawa, maka ini berarti “tidak bermoral”, atau “tidak susila”. Jadi kata “jawa” di sini mempunyai arti khusus yaitu “kadar moralitas dan kesusilaan seseorang”. Itulah sebabnya orang Jawa akan marah bila dikatai “ora jawa”. Mungkin kata “jawa” itu berasal dari kata “arjawam” pada bahasa sansekerta, yang artinya jujur, rendah hati, atau kata “beneh” dalam bahasa Jawa maupun Bali. Agaknya ketika kata “Jawa” itu diputuskan untuk menjadi nama pulau, tersirat harapan para leluhur semoga para penghuninya kelak selalu bermoral tinggi, bersifat “beneh” dan jujur atau “arjawam”.

Berbagai ungkapan yang ada, baik dalam folklor maupun karya sastra, misalnya dalam “Wedhatama” dan “Wulangreh” ajaran moral mendapat porsi amat besar. Isi kedua buku karya besar tersebut hampir seluruhnya nasehat tentang ajaran moral. Sedang landasan filosofisnya yang mendasari tidak terlalu mendalam. Kiranya moral merupakan pedoman perilaku (karma marga) yang diutamakan, hingga ceritera Mahabharata dan Ramayana, yang sarat dengan nilai-nilai moral itu sangat digemari hingga menjadi pengetahuan andalan yang tak tergantikan oleh ceritera lain, meski beberapa alternatif telah ditawarkan. Isi dua wira-carita tersebut terutama memang ajaran moral, sedang landasan filosofisnya, dibicarakan dalam bab tersendiri,Bhagawatgita yang penuli-sannya dikhususkan. Orang Jawa menganggap Bhagawatgita sebagai “kitab suci yang disakralkan”, sebab dianggap sebagai suara kebenaran sejati atau suara nurani, Karena itu juga dinamakan “Kidung Suksma” yang artinya “nyanyian sukma”, Bagi orang Jawa moral amat penting, bahkan sebagai penentu kadar kematangan spiritual dan kedewasaan seseorang. Sebuah petuah leluhur mengatakan “dadiya wong beneh aja ora jawa”, artinya “jadilah orang susila, jangan tidak bermoral”. Dari kata-kata itu jelas bahwa kedewasaan seseorang bukan ditentukan oleh kematangan fisik semata, tetapi juga kematangan “jiwa”. Seorang spiritualis sering disebut “bathok bolu isi madu”, artinya “seperti tempurung kelapa yang berisi madu”. Walau tampil sederhana tetapi isinya amat berharga.

Bila kata “jawa” dengan seluruh kandungan nilainya itu dipilih sebagai nama pulau dan etnis, padahal kata itu berasal dari kata “arjawam” dalam bahasa sansekerta, yang merupakan bahasa Weda, mestinya pemahaman dan penghayatan “sang pemberi nama” itu terhadap agama Hindu tentu amat mendalam. Karena itu saya merasa pasti bahwa yang memberi nama itu adalah seorang “tokoh Hindu”dan itu berarti ketika nama itu diberikan di pulau Jawa telah ada orang yang beragama Hindu. Dalam ajaran Hindu “arjawan” merupakan salah satu sifat yang dianjurkan di samping sifat-sifat utama lainnya. Karena itu wajarlah bila banyak ajaran Hindu yang amat dihayati dan sulit dihilangkan, meski agama Hindu sudah tidak ada lagi dan masyarakatnya telah beralih memeluk agama lain. Masalahnya adalah: “masih adakah serpihan-serpihan Hinduisme yang tertinggal dan masih mengakar di alam fikiran orang Jawa?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut kiranya terlebih dulu kita perlu mengetahui selintas tentang berbagai “tradisi Jawa”. Sebab tradisi adalah pengejawantahan dari nilai-nilai dan pandangan hidup yang dimiliki sebuah bangsa secara turun temurun.

source from :
www.iloveblue.com
pict from
www.gimonca.com/indonesia/huruf_jawa.htm

0 komentar:

Posting Komentar

Buku Tamu


ShoutMix chat widget

Time

My Team

Cek Dolar ah,,

Followers